Sunah Apa Bid'ah Versi Dialog

Masalah Khilafiah (Perbedaan Hukum / Fiqih), sering berujung perpecahan, mengapa?
Karena tidak mau menghargai pendapat orang lain.Kita bisa benar, oeang lain juga bisa benar.Kita bisa saja salah..orang lain juga bisa salah.

Hal terbaik adalah :
Bersatu dalam aqidah
Bersama dalam dakwah
Berjamaah dalam ibadah
Bertoleransi dalam khilafiah

Berikut contoh khilafiah versi dialog

Sunah apa bid'ah? #1. Tahlilan

W : “Anda harus meninggalkan Tahlilan 7 hari, hari ke 40, 100 dan ke 1000. Kalau tidak, Anda akan masuk neraka!”

S : “Apa alasan Anda mewajibkan kami meninggalkan Tahlilan 7 hari, hari ke 40, 100 dan 1000?”

W : “Karena itu tasyabbuh dengan orang-orang Hindu. Mereka orang kafir. Tasyabbuh dengan kafir berarti kafir pula!”

S : “Owh, itu karena Anda baru belajar ilmu agama. Coba Anda belajar di pesantren Ahlussunnah wal Jama’ah, Anda tidak akan bertindak sekasar ini. Anda pasti malu dengan tindakan Anda yang kasar dan sangat tidak Islami. Ingat, Islam itu mengedepankan akhlaqul karimah, budi pekerti yang mulia. Bukan sikap kasar seperti Anda.”

W : “Kalau begitu, menurut Anda acara Tahlilan dalam hari-hari tersebut bagaimana?”

S : “Justru acara dzikir Tahlilan pada hari-hari tersebut hukumnya sunnah, agar kita berbeda dengan Hindu.”

W : “Mana dalilnya? Bukankah pada hari-hari tersebut orang-orang Hindu melakukan kesyirikan!?”

S : “Justru karena pada hari-hari tersebut, orang Hindu melakukan kesyirikan dan kemaksiatan, kita lawan mereka dengan melakukan kebajikan, dzikir bersama kepada Allah Swt. dengan Tahlilan. Dalam kitab-kitab hadits diterangkan

:عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رضي الله عنه قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم:ذَاكِرُ اللهِ فِي الْغَافِلِيْنَ بِمَنْزِلَةِ الصَّابِرِ فِي الْفَارِّيْنَ.

Dari Ibnu Mas’ud Ra.
 bahwa Rasulullah Saw. bersabda:“Orang yang berdzikir kepada Allah di antarakaum yang lalai kepada Allah, sederajat dengan orang yang sabar di antara kaum yang melarikan diri dari medan peperangan.”(HR. ath-Thabarani dalamal-Mu’jam al-Kabirno. 9797 danal-Mu’jam al-Ausathno. 271. Al-Hafidz as-Suyuthi menilai hadits tersebut shahih dalamal-Jami’ ash-Shaghirno. 4310).

Dalam acara tahlilan selama 7 hari kematian, kaum Muslimin berdzikir kepada Allah, ketika pada hari-hari tersebut orang Hindu melakukan sekian banyak kemungkaran. Betapa indah dan mulianya tradisi Tahlilan itu.

W : “Saya tidak menerima alasan dan dalil Anda. Bagaimanapun dengan Tahlilan pada 7 hari kematian, hari ke 40, 100 dan 1000, kalian berarti menyerupai atau tasyabbuh dengan Hindu, dan itu tidak boleh!”

S : “Itu karena Anda tidak mengerti maksud tasyabbuh (tindakan menyerupai kaum lain). Tasyabbuh itu bisa terjadi, apabila perbuatan yang dilakukan oleh kaum Muslimin pada hari-hari tersebut persis dengan apa yang dilakukan oleh orang Hindu. Kaum Muslimin Tahlilan. Orang Hindu jelas tidak Tahlilan. Ini kan beda.Kami dzikir baca Al Quran..bukan kitab Weda..

W : “Tapi penentuan waktunya kan sama!?”

S : “Ya ini, karena Anda baru belajar ilmu agama. Kesimpulan hukum seperti Anda, yang mudah mengkafirkan orang karena kesamaan soal waktu, bisaberakibat mengkafirkan Rasulullah Saw.”

W : “Kok bisa berakibat mengkafirkan Rasulullah!?”

S : “Anda harus tahu, bahwa kesamaan waktu itu tidak menjadi masalah, selama perbuatannya beda. Coba Anda perhatikan hadits ini

:عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ يَوْمَ السَّبْتِ وَيَوْمَ اْلأَحَدِ أَكْثَرَ مِمَّا يَصُومُ مِنْ اْلأَيَّامِ وَيَقُولُ إِنَّهُمَا عِيدَا الْمُشْرِكِينَ فَأَنَا أُحِبُّ أَنْ أُخَالِفَهُمْ.

Ummu Salamah Ra. berkata: “Rasulullah Saw.selalu berpuasa pada hari Sabtu dan Ahad, melebihi puasa pada hari-hari yang lain. Beliau Saw. bersabda:“Dua hari itu adalah hari raya orang-orang Musyrik, aku senang menyelisihi mereka.”(HR. Ahmad no. 26750,an-Nasa’i juz 2 halaman 146, dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban).

Dalam hadits di atas jelas sekali, karena pada hari Sabtu dan Ahad, kaum Musyrik menjadikannya hari raya. Maka Rasulullah Saw. menyelisihi mereka denganberpuasa. Sama dengan kaum Muslimin Indonesia. Karena orang Hindu mengisi hari-hari yang Anda sebutkan dengan kesyirikan dan kemaksiatan, yang merupakan penghinaan kepada si mati, maka kaum Muslimin mengisinya dengan dzikir Tahlilan sebagai penghormatan kepada si mati.

W : “Owh, iya ya.”

S : “Saya ingin tanya, Anda tahu dari mana bahwa hari-hari tersebut, asalnya dari Hindu?”

W : “Ya, baca kitab Weda, kitab sucinya Hindu.”

S : “Alhamdulillah, kami kaum Sunni tidak pernah baca kitab Weda.”

W : “Awal mulanya sih, ada muallaf asal Hindu, yang menjelaskan masalah di atas. Sering kami undang ceramah pengajian kami. Akhirnya kami lihat Weda.”

S : “Itu kesalahan Anda, orang Wahabi, yang lebih senang belajar agama kepada muallaf dan gengsi belajar agama kepada para kyai pesantren yang berilmu. Jelas, ini termasuk bid’ah tercela.”

W : “Terima kasih ilmunya.”

S : “Anda dan golongan Anda tidak melakukan Tahlilan, silakan. Bagi kami tidak ada persoalan. Tapi jangan coba-coba menyalahkan kami yang mengadakan dzikir Tahlilan.

Sunah apa bid'ah? # 2. Tahlilan dan Makan di Tempat Tahlilan
(Hasil share seorang teman)
Peristiwa nyata Tanggerang, 15 Mei 2013. Suatu malam, seorang saudara kita berinisial A. yang aktif dalam kajian di Rodja TV berta’ziyah ke rumah teman akrabnya, yang keluarganya yang meninggal dunia. Kebetulan ia berta’ziyah malam hari, bersamaan dengan berkumpulnya para tetangga yang diundang untuk tahlilan dan makan-makan. Akhirnya terjadilah dialog berikut ini:
A “Ini orang-orang berkumpul di sini untuk tahlilan dan makan-makan?”
B “Iya”.
A: “Ini perbuatan bid’ah dan melanggar sunnah.”
B: “Apanya yang bid’ah?”
A: “Berkumpul untuk tahlilan ini jelas bid’ah.”
B: “Orang melakukan perbuatan mesum atau selingkuh itu dosa atau tidak?”
A: “Ya jelas dosa”.
B: “Bagaimana kalau ia melakukan perbuatan mesum atau selingkuh secara kolektif misalnya?”
A: “Ya jelas tambah nyata dosanya, karena tolong menolong dalam perbuatan maksiat itu dilarang.”
B: “Orang berdzikir kepada Allah itu bagaimana?”
A: “Iya jelas bagus dan berpahala.”
B: “Bagaimana kalau iya berdzikir kepada Allah secara kolektif atau berjamaah? Jelas ini sangat bagus, karena termasuk ta’awanu ‘alal birri wattaqwa (tolong menolong atas
kebajikan dan ketakwaan)”.
A: “Iya tapi kalau tahlilan tidak ada ulama yang membolehkan.”
B: “Lho, memangnya selain ulama mu, tidak ada ulamanya?”
A: “Maksudnya, ulama kami, panutan kaum wahabi tidak ada yang membolehkan.”
B: “Bagaimana Syaikh Ibnu Taimiyah menurut Anda?”
A: “Beliau Syaikhul Islam kami. Syaikh Ibnu Baz sering berpesan agar mengikuti ijtihad ijtihad beliau.”
B: “Syaikh Ibnu Taimiyah membolehkan dzikir bersama seperti yang ada dalam
tahlilan. Atau membolehkan tahlilan.”

Lalu B mengambil kitab:
Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah, juz 22, hal. 305-306, yang didalamnya menganjurkan dzikir bersama seperti tahlilan. Setelah membaca dengan teliti isi fatwa tersebut, si A, merasa heran, karena apa yang selama ini dia bid’ahkan kepada umat Islam Indonesia, ternyata telah dibolehkan oleh Syaikhul - Islamnya sendiri, yaitu Ibnu Taimiyah. Akhirnya iya merasa kalah dan menyerah sambil berkata “Astaghfirullaahal ‘azhiim”. Tapi masih terus melanjutkan diskusi.
A: “Tapi makanan yang Anda hidangkan atau suguhkan kepada para undangan jelas bid’ah dan tidak boleh dilakukan.”
B: “Kamu tahu, sejak keluarga kami meninggal dua hari yang lalu, orang - orang berdatangan mengantarkan beras, gula, uang dan lain-lain untuk keluarga kami yang sedang berduka cita. Kalau kami makan sendiri, jelas melebihi kebutuhan. Akhirnya kami masak dan mengundang tetangga untuk tahlilan.”
W: “Ya, tapi bagaimana pun itu perbuatan bid’ah dan haram.”
B: “Bagaimana pandangan Anda tentang Syaikh Ibnu Baz?”
A: “Beliau ulama kami, kaum wahabi, dan mufti terbesar wahabi pada masa sekarang.”
B: “Syaikh Ibnu Baz memfatwakan bolehnya mengundang tetangga untuk makan makanan yang berlebihan di rumah duka cita.”
A: “Di mana itu?”
MW mengambil Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, juz 13 hal. 378, kitab himpunan fatwa-fatwa Syaikh Ibnu Baz, yang disusun oleh muridnya, Dr Muhammad bin Sa’ad al-Syuwai’ir, setebal 30 jilid, lalu diperlihatkan kepada si W. Si W dengan keheranan membaca fatwa tersebut:
HUKUM KELUARGA DUKA CITA MENGUNDANG ORANG-ORANG UNTUK MAKAN MAKANAN YANG DIKIRIM KEPADA MEREKA

Soal: Apabila keluarga si mati dikirim makanan pagi atau makanan malam, lalu orang-orang berkumpul di rumah duka cita untuk memakannya, apakah hal tersebut termasuk niyahah yang diharamkan?
Jawab: “Hal demikian bukan termasuk niyahah. Karena mereka tidak membuatnya sendiri. Akan tetapi orang lain yang membuatkan untuk mereka. Dan boleh bagi keluarga duka cita mengundang orang-orang untuk makan bersama mereka dari makanan yang dikirim kepada mereka. Karena tidak jarang makanan itu banyak sekali dan
melebihi dari kebutuhan keluarga duka cita.
(Ibnu Baz, Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, juz 13 hal. 378).

Setelah dialog tersebut, akhirnya si Wahabi nimbrung ke acara tahlilan, dan setelah tahlilan ia makan dengan lahapnya. Bahkan ia pun akhirnya rutin menghadiri tahlilan yang memang difatwakan boleh oleh Ibnu Taimiyah
dan Syaikh Ibnu Baz. (Bahan/kisah diatas buya dapat dari Kyai Idrus Romli di Ponpes Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur.)

Subscribe to receive free email updates: