Hijab Menurut Imam Syafi'i

Pendapat madzhab Syafi’i, aurat wanita di depan lelaki ajnabi (lelaki asing atau bukan mahram) adalah seluruh tubuh. Sehingga mereka mewajibkan wanita memakai cadar di hadapan lelaki ajnabi. Inilah pendapat mu’tamad madzhab Syafi’i.
Asy Syarwani berkata:
إن لها ثلاث عورات : عورة في الصلاة ، وهو ما تقدم ـ أي كل بدنها ما سوى الوجه والكفين . وعورة بالنسبة لنظر الأجانب إليها : جميع بدنها حتى الوجه والكفين على المعتمد وعورة في الخلوة وعند المحارم : كعورة الرجل »اهـ ـ أي ما بين السرة والركبة ـ
“Wanita memiliki tiga jenis aurat, (1) aurat dalam shalat -sebagaimana telah dijelaskan- yaitu seluruh badan kecuali wajah dan telapak tangan, (2) aurat terhadap pandangan lelaki ajnabi, yaitu seluruh tubuh termasuk wajah dan telapak tangan, menurut pendapat yang mu’tamad, (3) aurat ketika berdua bersama yang mahram, sama seperti laki-laki, yaitu antara pusar dan paha” (Hasyiah Asy Syarwani ‘Ala Tuhfatul Muhtaaj, 2/112)
Syaikh Sulaiman Al Jamal berkata:
غير وجه وكفين : وهذه عورتها في الصلاة . وأما عورتها عند النساء المسلمات مطلقًا وعند الرجال المحارم ، فما بين السرة والركبة . وأما عند الرجال الأجانب فجميع البدن
“Maksud perkataan An Nawawi ‘aurat wanita adalah selain wajah dan telapak tangan’, ini adalah aurat di dalam shalat. Adapun aurat wanita muslimah secara mutlak di hadapan lelaki yang masih mahram adalah antara pusar hingga paha. Sedangkan di hadapan lelaki yang bukan mahram adalah seluruh badan” (Hasyiatul Jamal Ala’ Syarh Al Minhaj, 411)
Syaikh Muhammad bin Qaasim Al Ghazzi, penulis Fathul Qaarib, berkata:
وجميع بدن المرأة الحرة عورة إلا وجهها وكفيها ، وهذه عورتها في الصلاة ، أما خارج الصلاة فعورتها جميع بدنها
“Seluruh badan wanita selain wajah dan telapak tangan adalah aurat. Ini aurat di dalam shalat. Adapun di luar shalat, aurat wanita adalah seluruh badan” (Fathul Qaarib, 19)
Ibnu Qaasim Al Abadi berkata:
فيجب ما ستر من الأنثى ولو رقيقة ما عدا الوجه والكفين . ووجوب سترهما في الحياة ليس لكونهما عورة ، بل لخوف الفتنة غالبًا
“Wajib bagi wanita menutup seluruh tubuh selain wajah telapak tangan, walaupun penutupnya tipis. Dan wajib pula menutup wajah dan telapak tangan, bukan karena keduanya adalah aurat, namun karena secara umum keduanya cenderung menimbulkan fitnah” (Hasyiah Ibnu Qaasim ‘Ala Tuhfatul Muhtaaj, 3/115)
Taqiyuddin Al Hushni, penulis Kifaayatul Akhyaar, berkata:
ويُكره أن يصلي في ثوب فيه صورة وتمثيل ، والمرأة متنقّبة إلا أن تكون في مسجد وهناك أجانب لا يحترزون عن النظر ، فإن خيف من النظر إليها ما يجر إلى الفساد حرم عليها رفع النقاب
“Makruh hukumnya shalat dengan memakai pakaian yang bergambar atau lukisan. Makruh pula wanita memakai niqab (cadar) ketika shalat. Kecuali jika di masjid kondisinya sulit terjaga dari pandnagan lelaki ajnabi. Jika wanita khawatir dipandang oleh lelaki ajnabi sehingga menimbulkan kerusakan, haram hukumnya melepaskan niqab (cadar)” (Kifaayatul Akhyaar)
Hadits nabi shallallohu ‘alaihi wasallam yang lainnya, yang berbicara tentang masalah hijab adalah sebagai berikut,
عن أم المؤمنين عائشة قالت: يرحم الله نسآء المهاجرات الأول, لما نزلت: (وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ) شققن مروطهن فاختمرن بها
Diriwayatkan dari Ummul Mukminin, Aisyah radhiallahu ‘anha, ia berkata, “Semoga Allah merahmati para wanita generasi pertama yang ikut melakukan hijrah, manakala turun ayat, “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dada mereka”, mereka segera merobek baju mantel mereka, untuk kemudian menjadikannya sebagai penutup muka mereka”. (HR. imam Bukhari, Abu Daud, Ibnu Jarir dalam kitab tafsirnya, Hakim, Baihaqi dan yang lainnya).
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah di dalam kitabnya “Fath al-Bârî ” (8/490) berkata, “Makna ucapan Aisyah “fakhtamarna” di sini adalah, mereka menutup muka muka mereka”.
Syeikh Muhammad Amin rahimahullah di dalam kitabnya “Adhwâ’ al- Bayân” berkata, “Hadis sahih ini sangat jelas menyatakan, bahwa para wanita sahabat Rasulullah radhiyallâhu’anhunna tersebut memahami benar, bahwasanya makna firman Allah Ta’ala, “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka” di sini, adalah mereka wajib menutupi muka-muka mereka, dan mereka pun merobek kain sarung mereka untuk dijadikan sebagai kerudung. Artinya, mereka menggunakan sarung mereka itu untuk menutupi muka-muka mereka. Hal itu dilakukan tiada lain, sebagai bentuk pengabdian terhadap perintah Allah Ta’ala dalam firman-Nya, “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka”, yang di dalamnya terkandung perintah bagi para wanita itu, agar menutupi muka-muka mereka.
Dengan demikian, seorang yang adil akan merasa yakin, bahwa berhijab dan menutup muka bagi wanita, terhadap penglihatan laki-laki yang bukan mahromnya, adalah berdasarkan hadits sahih yang menjelaskan ayat al-Qur’an tentang masalah hijab ini. Dan, sungguh Aisyah radhiallahu ‘anha telah memuji para wanita yang dengan bergegas melaksanakan perintah-perintah Allah Ta’ala yang termuat dalam kitab-Nya, al-Qur’an al-Karim.
Dan sebagaimana dimaklumi, bahwa para wanita tersebut tidak memahami cara menutup muka sesuai perintah ayat, “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka”, kecuali setelah mendapat penjelasan langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Hal itu, mengingat pada waktu itu, beliau masih hidup, dan para wanita tersebut dapat menanyakan kepada beliau semua permasalahan yang pelik bagi mereka dalam agama mereka.
Allah Ta’ala berfirman,
وَأَنزَلْنَآ إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَانُزِّلَ إِلَيْهِمْ
“Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka”.(QS. an-Nahl:44)
Maka, tidak mungkin bagi para wanita tersebut menafsirkan ayat tentang hijab ini menurut pemikiran mereka sendiri. Al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam kitabnya “Fath al-Bârî” berkata,”Ibnu Abi Hatim melalui jalur Abdullah bin Utsman bin Khutsaim, meriwayatkan sebuah hadis yang menjelaskan tentang hal ini dari Shafiyah radhiallahu ‘anha. Lafazh hadis tersebut,
ذَكَرْنَا عِنْدَ عَائِشَة نِسآءَ قُرَيْشٍ وَفَضْلَهُنَّ فَقَالَتْ: إِنَّ نِسآءَ قُرَيْشٍ لَفُضَلآءُ, وَلَكنِّيْ وَاللهِ ما رأيت أفضل من نسآء الأنصار: أشدّ تصديقاً بكتاب الله ولا إيماناً بالتنـزيل, لقد أنزلت سورة النور: (وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ), فانقلب رجالهن إليهن يتلون عليهن ما أنزل فيها, ما منهنّ امرأة إلاّ قامت إلى مرطها فأصبحن يصلين الصبح معتجرات كأن على رؤوسهن الغربان
“Kami telah menuturkan kepada Aisyah radhiallahu ‘anha mengenai keadaan dan keutamaan wanita-wanita suku Quraisy, lalu ia berkata, “Sungguh wanita-wanita Quraisy itu sangat mulia. Namun, demi Allah, aku belum pernah melihat yang lebih mulia dari pada wanita kaum Anshar. Mereka sangat membenarkan dan meyakini kebenaran al-Qur’an. Sungguh tatkala diturunkan ayat, “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka”, lalu para suami mereka pulang menemui mereka untuk membacakan ayat ini, maka semua wanita itu pun bergegas meraih kain mantelnya masing-masing, lalu menunaikan shalat subuh dalam keadaan berkerudung seolah di atas kepala mereka terdapat burung gagak”.
Sebagaimana hal ini telah dijelaskan dalam hadis yang diriwayatkan oleh imam Bukhari terdahulu. Oleh karenanya, Aisyah radhiallhu ‘anha dengan segudang ilmu, pemahaman agama dan ketakwaan yang dimilikinya, seketika memuji para wanita kalangan Anshar tersebut dengan pujian yang maha agung ini. Lalu, Aisyah radhiallahu ‘anha mengatakan bahwasanya dirinya belum pernah melihat wanita yang membenarkan dan meyakini kebenaran al-Qur’an melebihi mereka.
Hadits ini juga merupakan dalil yang sangat jelas yang menyatakan, bahwa pemahaman wanita Anshar mengenai keharusan menutup muka, yang bersumber dari pemahaman terhadap firman Allah ta’ala, “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka”, adalah sebagai bentuk keyakinan dan keimanan mereka terhadap al-Qur’an. Hal semacam itu bisa dengan mudah diketahui, karena ketika mereka menutup tubuh dan muka mereka dari penglihatan laki-laki lain, berarti pada saat itu, mereka telah membenarkan dan meyakini kebenaran al-Qur’an.
Hanya saja yang paling mengherankan dari perkataan orang yang mengklaim diri sebagai orang pintar dan intelek, bahwasanya tidak ada satu pun dalil dalam al-Qur’an maupun sunnah, yang menyatakan tentang kewajiban wanita untuk menutup muka dari penglihatan laki-laki lain. Padahal, para sahabat wanita (sahabiyah) telah melakukan hal itu sebagai bentuk implementasi dan keimanan mereka terhadap perintah Allah ta’ala, yang tertera di dalam kitab al-Qur’an.
Artinya, kewajiban wanita untuk menutup mukanya dari penglihatan laki-laki lain itu, telah ditetapkan di dalam hadits sahih, yang telah disebutkan oleh imam Bukhari rahimahullah pada pembahasan terdahulu. Dan, hadis ini merupakan dalil teragung dan paling jelas, yang mengungkapkan tentang keharusan atau kewajiban hijab bagi semua wanita muslimah”. (Lihat kitab “Adhwâ’ al-Bayân”: 6/ 594-595)
Fenomena akhir akhir ini adalah, slogan yang begitu berani : "Jilbab (dan cadar) lebih mengerikan daripada rok mini"
Astaghfirullah...
Juga alasan klise...bahwa akan "menjilbabi" hatinya dahulu sebelum menjilbabi aurot...
Siapa yang jamin...setelah hatinya dihijab (beramal shalih) lalu akan menghijab tubuhnya? Apakah sampai umurnya?
Wallahualam bishowab

Subscribe to receive free email updates: