Penulis: Ustadz Ahmad Zarkasih. Lc. - (Dari Group WA dan diedit)
Berita islami kali ini mengenai isu hangat yang sering di "lontarkan" saudara kita, bahwa setiap amalan mesti tahu dalil yang melandasinya.
Saya tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya ibadah dan kehidupan muslim nantinya jika semua orang selalu diminta “mana dalilnya?” dalam setiap pekerjaan mereka. Ini fenomena beragama yang ‘aneh’, selalu meminta dalil dan dalil yang dimaksud adalah ayat Qur’an atau juga hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
1. Kalau Semua Harus Tahu Dalil. Kalau saja semua muslim itu harus tahu dalilnya dalam beribadah, dan dalil yang dimaksud adalah Qur’an dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, coba kita bayangkan, berapa banyak ibadah umat Islam ini yang tertolak dan tidak sah?
Karena memang banyak muslim yang beribadah tapi tidak tahu dan tidak hafal ayat dan hadits yang menjadi dasar ibadahnya.
Wudhunya tidak sah, karena hadits tentang membasuh muka serta atau yang menjadi bukti kepala diusap itu mereka tidak hafal. Akhirnya semua ibadah yang dilakukan sia-sia, kalau sejak awal tahu itu sia-sia, lalu Ngapain ibadah?
Lebih lagi, jika semua harus tahu dalil, karena beranggapan bahwa semua ibadah itu harus tahu dalilnya, bagaimana dan siapa yang akhirnya menunjang dan menjaga keseimbangan hidup ini? siapa yang akhirnya menjadi arsitek, menata gedung dan kota jika semuanya sibuk belajar ayat dan hadits? Dan siapa yang mau jadi dokter untuk mengobati pelajar yang belajar ayat dan hadits itu ketika sakit? Lalu siapa pula yang mengurusi administrasi kependudukan mereka jika semua PNS sibuk menghafal dalil? Siapa yang menjaga keamanan jika aparat militer negara mangkir dari latihan karena harus menghafal dalil ibadah mereka?
2. Distribusi Tugas Dalam Islam. Allah Berfirman: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”. (Ali Imron: 104)
Allah berfirman: “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”. (at-Taubah: 122).
Dua ayat di atas dan argumen logika sebelumnya sejatinya sudah cukup menjadi bukti bahwa memang dalam Islam ini ada yang disebut dengan “Distribusi pekerjaan”. Setiap orang bekerja sesuai bidangnya, dan semua harus berimbang. Tidak semua menjadi “ustadz”, juga tidak semua menjadi “dokter”. Harus ada pembagian pekerjaan agar seimbang hidup ini. Nah, agar begitu kuat, saya tambahkan dua ayat, agar para “pencari dalil” itu yakin bahwa dalam Islam tidak semua harus jadi ahli agama, dalam artian tidak semua harus tahu dalil. Lihat ayat di atas, perintah untuk mendalami agama itu ditujukan untuk “sebagian” dari umat ini. tidak semuanya. Semua memang harus tahu kewajibannya dalam agama, akan tetapi kewajiban yang sifatnya umum. Dalam hal mendetail, mengerti dalil, paham ayat serta mampu meneliti hadits itu bukan pekerjaan semua muslim. Itu hanya beberapa orang saja, yang memang sudah mengkhususkan dirinya untuk jadi seorang penyuluh agama yang baik.
3. Dalil Bagi Orang Awam. Sejak dulu, mestinya para sahabat yang mulia, yang mereka bertemu langsung dengan sumber syariah; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, mestinya mereka itu ketika ditanya oleh awam sahabat, mereka sertakan juga dengan: “ini dalilnya, dan hafalkan!”. Tapi nyatanya kita tidak mendapati itu. Mereka menjawab dan banyak dari mereka hanya menjawab tanpa adanya ayat atau juga hadits. Begitu juga yang dilakukan oleh ulama-ulama masa selanjutnya; Tabi;in juga Tabi’u al-Tabi’in. Karena mereka tahu, paham serta mengerti, bahwa bukan kewajiban awam untuk tahu dalil; karena tahu atau tidak tahunya awam terhadap dalil itu sama saja tidak berguna.
“Fatwa-fatwa ulama mujtahidin bagi orang awam itu ibarat dalil syar’i bagi para mujtahid”. (Ibrahim bin Musa as-Syathibi w. 790 H, al-Muwafaqat, h. 5/ 336). Itu kata Imam al-Syatibiy, dan kemudian beliau meneruskan: “Dasarnya adalah ada dan tidaknya dalil bagi orang awam itu sebenarnya sama saja. Karena mereka belum bisa mengambil faedah dari dalil-dalil itu. Menganalisis dalil- dalil syar’i bukanlah tugas mereka. Bahkan tidak boleh sama sekali mereka melakukan itu”. (Ibrahim bin Musa as-Syathibi w. 790 H, al-Muwafaqat, h. 5/ 337).
Memberikan dalil kepada orang awam itu seperti memberikan material bahan bangunan kepada guru matematika. Ia tidak mengerti bagaimana memanfaatkan bahan dan material tersebut, kalaupun dipaksanakan, bukan bangunan yang berdiri akhirnya, tapi bisa jadi hanya tumpukan bata tak bertata. Karena memang yang mengerti bagaimana bahan bangunan itu diolah adalah tukang bangunan itu sendiri. Bahan dan material bangunan itu bahan mentah, yang hanya bisa dimatangkan oleh yang ahlinya.
Begitu juga ayat dan hadits, kedua sumber mulia itu adalah bahan mentah yang belum matang, dan sama sekali itu tidak berguna dan tidak bermanfaat bagi awam. Ia bisa berguna dan bermanfaat jika memang berada di tangan ahlinya; para ahli fiqih. Karena memang mengolah ayat dan hadits sampai akhirnya kemudian menjadi sebuah produk hukum itu ada seni dan keahlian khusus yang tidak semua bisa menguasai itu jika hanya bermodal sedikit bahasa arab dan ikut pengajian mingguan. Dengan demikian jelaslah bahwa pertanyaan “mana dalilnya?” yang ditujukan kepada awam adalah pertanyaan yang salah sasaran dan keliru, karena awam tidak butuh dalil ayat dan hadits.
Mereka itu hanya butuh hukum yang mereka akses dari gurunya, yang mana gurunya itu juga mengakses dari gurunya, hingga sampai rantai akses itu kepada imam madzhab juga sampai kepada Rasululullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Jadi tepatnya adalah; “siapa gurumu yang mengajari itu?”. Kalau jawabannya “Rasul!”, itu juga keliru. Karena yang namanya berguru itu bertemu, apakah ia bertemu dengan Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam sehingga yakin bahwa jawabannya itu memang benar jawaban dari rasul? Wallahu a’lam...